Rabu, 15 Mei 2013

Analisis pasal 29 & 30 Undang-undang No.3 tahun 1997



Nama: FRANSISKUS L.GAOL
NIM : B10010118

1.      Pasal 29 UU No.3 Tahun 1997
Anak nakal yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah anak yang telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin,yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara keseluruhan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang terdiri atas 9 (sembilan) ayat adalah mengatur tentang pidana bersyarat bagi anak nakal. Aturan dalam Pasal 29 UU No 3 Tahun 1997 ini merupakan aturan khusus yang mengenyampingkan aturan umum sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam pelaksanaannya masih perlu penyempurnaan, hal ini terkait dengan dasar pertimbangan sosiologis dan yuridis perlunya perubahan terhadap undang-undang tentang Pengadilan anak antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Dengan adanya ketentuan khusus untuk anak nakal tersebut di dalam UU No 3 Tahun 1997 tentunya diharapakan akan lebih memberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan bagi anak tersebut, akan tetapi jika dilihat, dicermati, dan dibandingkan dengan ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu dimana ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP lebih memberikan perlindungan bagi orang dewasa dibandingkan kepentingan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Salah satu kelemahan yang dapat dilihat dari ketentuan Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah :

Ø  Dalam Undang-undang atau rumusan Pasal 29 tersebut maupun di dalam penjelasan pasalnya tidak memberikan ukuran atau batasan yang jelas untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi Hakim Anak untuk menjatuhkan pidana bersyarat bagi anak sebagai “pelaku”. Hal tersebut dapat berakibat kepada dasar pertimbangan para Hakim Anak yang berbeda-beda dalam menjatuhkan pidana bersyarat untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak, karena hal tersebut hanya merupakan kewenangan dari Hakim Anak itu sendiri. Padahal jika ada ukuran atau batasan yang jelas maka Keputusan Hakim tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, korban, terutama kepada anak yang dijatuhi pidana oleh Hakim tersebut.




2.      Pasal 30 UU No.3 Tahun 1997
Pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tersebut mengatur terkait Pidana Pengawasan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. Pidana pengawasan merupakan jenis sanksi baru yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut yang diterapkan untuk perkara-perkara pidana anak.
Pidana Pengawasan menurut Undang-undang ini adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
Di dalam Pasal ini tampak adanya kelemahan dari pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tersebut, yaitu tidak adanya suatu ketentuan yang jelas mengenai bagaimana pelaksanaan yang sebenarnya dari pidana pengawasan tersebut, sehingga hal ini memberikan dampak yang tidak efektif kepada kinerja daripada aparat penegak hukum dalam praktek pelaksanaan aturan perundangan-undangan tersebut. Kemudian dengan ini diharapkan agar dengan adanya pidana pengawasan tersebut kemerdekaan atau kebebasan anak dalam hal-hal yang seharusnya menjadi hak-hak nya tidak terbelenggu dengan adanya pengawasan tersebut.